Uang Korupsi Itu Merusak Anak Saya
*) Jamil Azzaini
Suatu hari, saya diundang untuk berbicara di depan staff dan pimpinan sebuah perusahaan ternama. Pada kesempatan tersebut saya berbicara tentang “hukum kekekalan energi”, yang intinya, menurut hukum kekekalan energi dan semua agama, apapun yang kita lakukan pasti akan dibalas sempurna kepada kita di dunia. Dengan kata lain, apabila kita melakukan “energi positif” atau kebaikan maka kita akan mendapat balasan berupa kebaikan pula.
Begitu pula bila kita melakukan “energi negatif” atau keburukan maka kitapun akan
mendapat balasan berupa keburukan pula. Ketika sesi tanya jawab, salah seorang pimpinan di perusahaan itu mengkritik pedas “hukum kekekalan energi”. Walau saya sudah menjelaskan dengan beragam argumen ilmiah dan contoh-contoh dalam kehidupan nyata, dia tetap tidak yakin. Sampai kami berpisah, kami masih pada pendapat masing-masing.
Tujuh bulan berlalu, pimpinan itu tiba-tiba menelpon saya. “Pak Jamil, saya ingin bertemu anda,” ujarnya singkat. Karena penasaran, undangan dari beliau saya prioritaskan. Singkat kata, pada waktu dan tempat yang telah disepakati kami bertemu.
Rupanya beliau tiba lebih dulu di tempat kami janjian. Begitu saya datang, beliau segera menyambut dengan sebuah pelukan erat. Cukup lama beliau memeluk saya. “Maafkan saya pak Jamil. Maafkan saya,” ucapnya, sambil terisak dan terus memeluk saya. Karena masih bingung dengan kejadian ini saya diam saja.
Setelah kami duduk, beliau membuka percakapan. “Saya sekarang yakin dengan apa yang pak Jamil dulu katakan. Kalau kita berbuat energi positif maka kita akan mendapat kebaikan dan bila kita berbuat energi negatif maka pasti kita akan mendapat keburukan,” ujarnya.
“Bagaimana ceritanya sekarang kok bapak jadi yakin?” tanya saya. “Selama saya menjabat pimpinan di perusahaan itu, saya menerima uang yang bukan menjadi hak saya. Semuanya saya catat. Jumlahnya lima ratus dua puluh enam juta rupiah,” katanya.
Sembari menarik napas panjang beliau melanjutkan bercerita. Kali ini tentang anaknya.
“Anak saya sekolah di Australia. Karena pengaruh pergaulan, dia terkena narkoba. Sudah saya obati dan sembuh. Ketika liburan, dia ke Amerika dan Kanada. Tidak disangka, disana dia bertemu dengan teman pengguna narkobanya ketika di Australia. Anak saya sebenarnya menolak menggunakan lagi. Namun dia dipaksa dan akhirnya anak saya kambuh lagi, bahkan makin parah, pak.”
Selama bercerita, beliau tak henti mengusap pipinya yang basah dengan air mata yang terus meleleh seperti tak mau berhenti. “Pak Jamil tahu berapa biaya pengobatan narkoba dan penyakit anak saya?” Tanpa menunggu jawaban saya, lelaki separuh baya itu berkata lirih, “Biayanya lima ratus dua puluh enam juta rupiah. Sama persis dengan uang kotor yang saya terima, pak!”
Beliau tertunduk dan menggeleng-gelengkan kepala disertai isak tangis yang makin keras. Dengan terbata lelaki itu berkata, “Uang korupsi itu telah merusak anak saya, pak. Saya menyesal. Saya bukan orang tuayang baik. Saya telah merusak anak saya, pak!”
Saya peluk erat lelaki itu. Saya biarkan air matanya tumpah. Tangisnya semakin keras….
Wahai saudara, haruskah menunggu anak kita menjadi pengguna narkoba dan sakit untuk berhenti korupsi?
Keterangan Penulis:
Jamil Azzaini adalah Senior Trainer dan penulis buku Best Seller.
RUBRIK LEADERSHIP; Solusi Esensial Meraih Sukses dan Kemuliaan Hidup
Sumber:
http://asia.groups.yahoo.com/group/mpnr-b-uny-2011/