Sering kali orang tidak mensyukuri apa yang diMILIKInya sampai akhirnya Allah memberinya hikmah untuk membuatnya bersyukur.
Aina, sebut saja begitu namanya. Kawan kuliah ini berotak cemerlang dan memiliki idealisme tinggi. Sejak masuk kampus, sikap dan konsep dirinya sudah jelas: meraih yang terbaik, di bidang akademis maupun profesi yang akan digelutinya. ”Why not the best,” katanya selalu, mengutip seorang mantan presiden Amerika.
Ketika Universitas mengirim mahasiswa untuk studi Hukum Internasional di Universiteit Utrecht, Belanda, Aina termasuk salah satunya. Saya lebih memilih menuntaskan pendidikan kedokteran.
Berikutnya, Aina mendapat pendamping yang ”selevel”; sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi.
Alifya, buah cinta mereka, lahir ketika Aina diangkat sebagai staf diplomat, bertepatan dengan tuntasnya suami dia meraih PhD. Lengkaplah kebahagiaan mereka. Konon, nama putera mereka itu diambil dari huruf pertama hijaiyah ”alif” dan huruf terakhir ”ya”, jadilah nama yang enak didengar: Alifya. Saya tak sempat mengira, apa mereka bermaksud menjadikannya sebagai anak yang pertama dan terakhir.
Ketika Alif, panggilan puteranya itu, berusia 6 bulan, kesibukan Aina semakin menggila. Bak garuda, nyaris tiap hari ia terbang dari satu kota ke kota lain, dan dari satu negara ke negara lain.
Setulusnya saya pernah bertanya, ”Tidakkah si Alif terlalu kecil untuk ditinggal-tinggal?” Dengan sigap Aina menjawab, ”Oh, saya sudah mengantisipasi segala sesuatunya. Everything is OK!” Ucapannya itu betul-betul ia buktikan. Perawatan dan perhatian anaknya, ditangani secara profesional oleh baby sitter mahal. Aina tinggal mengontrol jadual Alif lewat telepon. Alif tumbuh menjadi anak yang tampak lincah, cerdas dan gampang mengerti.
Kakek-neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu, tentang kehebatan ibu-bapaknya. Tentang gelar dan nama besar, tentang naik pesawat terbang, dan uang yang banyak.
”Contohlah ayah-bunda Alif, kalau Alif besar nanti…” Begitu selalu nenek Alif, ibunya Aina, berpesan di akhir dongeng menjelang tidurnya.
Ketika Alif berusia 3 tahun, Aina bercerita kalau dia minta adik. Terkejut dengan permintaan tak terduga itu, Aina dan suaminya kembali menagih pengertian anaknya. Kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Alif. Lagi-lagi bocah kecil ini ”memahami” orang tuanya. Buktinya, kata Aina, ia tak lagi merengek minta adik. Alif, tampaknya mewarisi karakter ibunya yang bukan perengek. Meski kedua orangtuanya kerap pulang larut, ia jarang sekali ngambek.
Bahkan, tutur Aina, Alif selalu menyambut kedatangannya dengan penuh ceria. Maka, Aina menyapanya ”malaikat kecilku”.
Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orangtuanya super sibuk, Alif tetap tumbuh penuh cinta. Diam-diam, saya iri pada keluarga ini.
Suatu hari, menjelang Aina berangkat ke kantor, entah mengapa Alif menolak dimandikan baby sitter. ”Alif ingin dimandikan Bunda….,” ujarnya penuh harap. Karuan saja Aina, yang detik ke detik waktunya sangat diperhitungkan, gusar. Ia menampik permintaan Alif sambil tetap gesit berdandan dan mempersiapkan keperluan kantornya. Suaminya pun turut membujuk Alif agar mau mandi dengan Tante Mien, baby sitter-nya. Lagi-lagi, Alif dengan pengertian menurut, meski wajahnya cemberut.
Peristiwa ini berulang sampai hampir sepekan. ”Bunda, mandikan aku…!” kian lama suara Alif penuh tekanan. Toh, Aina dan suaminya berpikir, mungkin itu karena Alif sedang dalam masa pra-sekolah, jadinya agak lebih minta perhatian. Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Alif bisa ditinggal juga.
Sampai suatu sore, Aina dikejutkan oleh telpon dari Mien, sang baby sitter. ”Ibu, Alif demam dan kejang-kejang. Sekarang di Emergency..” Aina, ketika diberi tahu soal Alif, sedang meresmikan kantor barunya. Ia shock berat. Setengah terbang, Aina melesat ke UGD rumah sakit. But it was too late. Allah sudah punya rencana lain. Alif, si malaikat kecil, keburu dipanggil pulang oleh-Nya.
Saat itu satu-satunya keinginan dia adalah memandikan putranya. Setelah pekan lalu Alif mulai menuntut, Aina memang menyimpan komitmen untuk suatu saat memandikan anaknya sendiri.
Dan siang itu, janji Aina terwujud, meski setelah tubuh si kecil terbaring kaku. ”Ini Bunda Lif, Bunda mau mandikan Alif…,” ucapnya lirih, di tengah jamaah yang sunyi. Satu persatu rekan Aina menyingkir dari sampingnya, berusaha menyembunyikan tangis.
Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, kami masih berdiri mematung di sisi pusara. Berkali-kali Aina, sahabatku yang tegar itu, berkata, ”Ini sudah takdir, ya kan?? Sama saja, aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya, ya dia pergi juga kan?…” Saya diam saja.
Rasanya Aina memang tak perlu hiburan dari orang lain. Suaminya mematung seperti tak bernyawa. Wajahnya pias, tatapannya kosong. ”Ini konsekuensi sebuah pilihan…,” lanjut Aina, tetap mencoba tegar dan kuat. Hening sejenak. Angin senja meniupkan aroma bunga kamboja.
Tiba-tiba Aina bersimpuh. ”Aku ibunyaaa…!” serunya histeris, lantas tergugu hebat. Rasanya baru kali ini saya menyaksikan Aina menangis, lebih-lebih tangisan yang meledak. ”Bangunlah Lif, Bunda mau mandikan Alif. Beri kesempatan Bunda sekali saja Lif. Sekali saja, Aliiif..” Aina merintih mengiba-iba. Detik berikutnya, ia ambruk diatas pusara dan tertelungkup di atasnya. Air matanya membanjiri tanah merah yang menaungi jasad Alif.
Ambil hikmahnya:
— Nasi sudah menjadi bubur, sesal tidak lagi menolong.
— Hal yang nampaknya sepele sering kali menimbulkan sesal dan kehilangan yang amat sangat.
— Sering kali orang sibuk ‘di luaran’, asik dengan dunianya dan ambisinya sendiri tidak mengabaikan orang-orang di dekatnya yang disayanginya.
Sumber:
http://asia.groups.yahoo.com/group/mpnr-b-uny-2011/